Total Tayangan Halaman

Jumat, 04 Maret 2011

Belanja Rokok, Alkohol Masyarakat Bogor Lampaui Kesehatan, Pendidikan

Senin, 27 Juli 2009 05:18 WIB
(ANTARA/Andika )

Bogor (ANTARA News) - Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor dr Triwandha Elan menyatakan keprihatinannya bahwa biaya belanja untuk kebutuhan rokok masyarakat daerah itu justru lebih tinggi ketimbang untuk kesehatan dan pendidikan.
"Berdasarkan data Susenas (Survei Sensus Nasional), belanja rokok dan alkohol di Kota Bogor melebihi belanja untuk kesehatan dan pendidikan," katanya di Bogor, Minggu.
Dikemukakannya bahwa untuk belanja rokok/alkohol mencapai 6,9 persen, sedangkan belanja untuk pendidikan 6,4 persen dan kesehatan hanya 2 persen.
"Sementara pengeluaran belanja rokok KK (kepala keluarga) miskin dari jumlah 41.349 KK miskin per tahunnya lebih dari Rp20 miliar," katanya.
Ia juga menyodorkan data lain, yakni berdasarkan hasil riset kesehatan dasar Kota Bogor tahun 2007, jumlah perokok di Kota Bogor mencapai 29,6 persen dengan rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap per hari 8,89 persen.
Sedangkan berdasarkan hasil Surkesda (Survei Kesehatan Daerah) tahun 2004, dari hasil Surkesda disebutkan bahwa jumlah perokok laki-laki di rumah tangga mencapai 57 persen, sedangkan perokok wanita 47 persen di rumah tangga di Kota Bogor.
Populasi jumlah penduduk di Kota Bogor berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 905.132 jiwa atau hampir 1 juta jiwa.
Guna menekan turunnya jumlah perokok, katanya, sejauh ini Kota Bogor telah memiliki peraturan daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2006 tentang ketertiban umum pasal 14,15, dan pasal 16 yang mengatur KTR (kawasan tanpa rokok).
Dalam perda ini antara lain mengatur tentang pelarangan merokok di lingkungan lembaga pendidikan, kesehatan, tempat-tempat umum, tempat ibadah, arena bermain anak, tempat kegiatan belajar mengajar dan tempat kerja dan pelarangan merokok di dalam angkutan kota.
"Rencananya tahun ini Perda KTR akan dibuat khusus, yang tidak lagi digabungkan dengan Perda ketertiban umum," katanya.
Sementara itu, cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU) Bogor Ahmad Fahir, MSi berpendapat bahwa deklarasi KTR di Kota Bogor yang telah dicanangkan unsur masyarakat dan pemerintah kota (Pemkot) Bogor akhir Mei 2009 hendaknya jangan berhenti pada kegiatan seremonial deklarasi formal saja.
"Pola deklarasi-deklarasi mengenai apapun yang bertujuan baik, seringkali kemudian berhenti pada sebatas deklarasi itu sendiri.
Nah...apakah deklarasi KTR di Kota Bogor bisa menjadi aksi berkesinambungan, itulah tantangan dan ujiannya agar tidak seperti kebiasaan deklarasi yang ada," katanya.
Deklarasi KTR telah dilakukan oleh ratusan unsur masyarakat dan kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan deklarasi yang dilakukan Wakil Wali Kota Bogor Achmad Ru`yat, Wakil Ketua DPRD Iwan Suryawan, dan Ketua Tim Penggerak PKK Kota Bogor Hj Fauziah Diani Budiarto.
Mereka membubuhkan tanda tangan pada papan berukuran 1 x 1 meter persegi. Dalam deklarasi antara lain disebutkan bahwa perwakilan masyarakat bertekad untuk menegakkan kawasan tanpa rokok di Kota Bogor.
Menurut Ahmad Fahir, mengapa komitmen deklarasi KTR itu perlu "dikawal" agar tidak terjebak pada pola deklarasi yang ada, karena berdasarkan temuan inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan seksi promosi kesehatan Dinkes Kota Bogor, ternyata penerapan KTR seperti yang diatur dalam peraturan daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2006 tentang ketertiban umum di lingkup kantor pemerintah saja masih ditemukan pelanggaran.
Ia merujuk pada Sidak yang dilakukan Kepala Seksi Promosi Dinkes Kota Bogor drg Yunita bersama empat anggota tim, ke kantor Kecamatan Bogor Timur, ditemukan beberapa pegawai kecamatan yang sedang merokok di ruang kerjanya.
"Itu sebabnya bahwa tantangan ke depan, terlebih setelah ada deklarasi membutuhkan komitmen sungguh-sungguh," kata pria yang baru menyelesaikan studi strata 2 (S2) Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Wakil Wali Kota Bogor Achmad Ru`yat sendiri sepakat bahwa dideklarasikannya KTR yang dilakukan berbagai unsur masyarakat itu tidak hanya sebatas deklarasi, tapi bisa diwujudkan di lingkungan masyarakat di seluruh wilayah Kota Bogor.(*)
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © 2011

IPB-Pegadaian Bentuk Laboratorium Keuangan Mikro

Bogor, (tvOne)

Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerja sama dengan Perum Pegadaian membentuk laboratorium keuangan mikro sebagai upaya mengembangkan model usaha yang dibiayai dari lembaga keuangan tersebut.
Juru Bicara IPB Henny Windarti, di Bogor, Sabtu, menjelaskan, kerja sama tersebut telah dilakukan melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Rektor IPB Dr Ir Herry Suhardiyanto, M.Sc dengan Direktur Utama (Dirut) Perum Pegadaian, Chandra Purnama.
Dengan kerja sama dimaksud, kata dia, ke depan usaha mikro yang banyak jumlahnya di berbagai daerah di Indonesia bisa mendapatkan akses yang mudah untuk pembiayaan usaha yang mereka geluti.
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Riset dan Kerja Sama IPB Dr Ir Anas Miftah Fauzi, M.Eng menambahkan bahwa melalui laboratorium yang akan dibangun itu, IPB akan mengembangkan model usaha yang bisa dibiayai dari lembaga keuangan mikro seperti yang selama ini dilakukan oleh Perum Pegadaian.
Ia mengatakan langkah tersebut dilakukan untuk mengantisipasi ramalan 2012 yakni siklus 24 dari apa yang disebut "Badai Matahari".
"Dalam siklus itu, yang terjadi adalah kita akan mengalami kemarau panjang selama sebulan bulan sehingga kita harus mengantisipasi dan harus ada langkah-langkah keuangan mikro itu," katanya.
Sementara itu Chandra Purnama mengatakan bahwa Perum Pegadaian mempunyai tekad untuk menjadi yang terdepan dalam pembiayaan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di Indonesia.
"Dunia sudah berubah, artinya yang besar tidak bisa mengalahkan yang kecil namun yang cepat bisa mengalahkan yang lambat," kata Anas Miftah Fauzi.
Atas kerja sama itu, cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU) Bogor, Ahmad Fahir menilai bahwa yang paling esensial dari lembaga pembiayaan mikro adalah memudahkan akses bagi UMKM untuk mendapatkan pembiayaan tanpa persyaratan yang menyulitkan.
"Selama ini banyak skema pembiayaan mikro, namun tidak sedikit pelakunya masih mengeluhkan akses untuk permodalan semacam itu," katanya.

Idham Chalid, Pemimpin Besar dari Amuntai

Kompas, Senin, 12 Juli 2010 | 22:49 WIB


.KH Idham Cholid 
Oleh Ahmad Fahir
Anggapan sebagian orang bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa (ormas) Islam yang bercorak Jawa dan tersentralisasi di Pulau Jawa patut diluruskan. Begitu pula dengan pameo yang menyebut bahwa pimpinan ormas terbesar di Indonesia tersebut mesti berdarah Jawa, terutama Jawa Timur, juga tidak tepat.
Doktor Kiai Haji Idham Chalid (88) yang menghembuskan nafas terakhir pada Minggu pagi pukul 08.00 WIB di Cipete Jakarta Selatan merupakan fakta sejarah yang paling sahih untuk mematahkan berbagai penilaian sepihak terhadap NU.
Ulama kharismatis NU tersebut bahkan telah menghilangkan dikotomi Jawa non-Jawa dalam konteks politik nasional jauh-jauh hari sebelum banyak pihak memperbincangkannya, yakni sejak tahun 1956 silam atau hanya berselang sembilan tahun setelah kemerdekaan Indonesia.
Kiai Idham Chalid merupakan salah satu tokoh terbesar yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Semasa hidupnya, beliau mencurahkan pengabdian bagi bangsa ini melalui NU, ormas Islam terbesar di Indonesia maupun dunia, yang ia geluti sejak masih usia kanak-kanak.
Kiai Idham yang lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung lima bersaudara dari H Muhammad Chalid.
Saat usianya baru enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Idham tercatat sebagai tokoh termuda yang pernah memimpin NU. Idham dipilih sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 1956. Saat itu usia Idham baru 34 tahun. Sebuah catatan dan prestasi yang fenomenal baik pada masa tersebut maupun masa kini.
Karir Idham di ormas yang didirikan ulama dan memiliki akar kuat baik di pedesaan maupun di perkotaan tersebut terbilang sangat cemerlang. Semasa kepemimpinan Idham di PBNU tidak pernah terjadi gejolak internal. Selain itu kepemimpinan Idham di NU juga paling lama yaitu 28 tahun. Idham menjabat ketua umum PBNU mulai tahun 1956 hingga 1984.
Sebagian kalangan mengatakan, bila tidak ada gerakan kembali ke ?khittah 1926? yang dimotori KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dkk, posisi Kiai Idham sebagai ketum PBNU tidak tergantikan.
Khittah menjadi senjata ampuh bagi poros Situbondo --istilah untuk untuk menyebut gerakan yang dimotori Gus Dur-- untuk melengserkan Kiai Idham dari tampuk kepemimpinan di PBNU.
Gerakan Khittah tersebut sempat membuat NU terbelah dan menjadi dua poros besar yaitu Situbondo dan Cipete. Istilah Cipete merupakan kediaman Kiai Idham dan merujuk pada pendukung Kiai Idham yang saat itu sangat banyak dan loyal.
Bukan darah biru
Idham Chalid merupakan tokoh besar bangsa Indonesia yang telah memberikan teladan dan inspirasi. Beliau telah ikut meletakkan dasar-dasar berbangsa dengan mewujudkan kebersamaan dan menghilangkan dikotomi antara Jawa dan Luar Jawa.
Andil Idham dalam membangun tatasan kehidupan politik berbangsa yang harmonis tanpa diskriminasi, tidak lepas dari keberadaan NU yang menghargai egalitarianisme serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua kader untuk memberikan kontribusi terbaiknya bagi NU.
Selain memberikan kesempatan kepada Idham untuk menjadi ketua umum PBNU pada tahun 1956, jauh-jauh hari sebelumnya NU sudah menghilangkan jarak pemisah antara Jawa dengan Luar Jawa dengan menggelar Muktamar ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan tahun 1936 atau sembilan tahun sebelum Indonesia merdeka.
Penyelenggaraan Muktamar ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1936 serta dipilihnya Idham Chalid menjadi ketua umum PBNU pada Muktamar ke-21 di Luar Jawa, tepatnya di Medan, Sumatera Utara, semakin mengukuhkan posisi NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia serta meminjam istilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai jangkar strategis nasional.
Kepemimpinan Idham di PBNU selain berdampak positif bagi iklim organisasi dengan mematahkan mitos Jawa dan Luar Jawa juga menghapus mitos bahwa ketua umum PBNU harus memiliki darah biru.
Darah biru merupakan istilah dalam NU, yang dapat diartikan sebagai keturunan ulama besar yang terpandang. Dalam tradisi NU di Jawa, biasanya dipanggil dengan sebutan Gus.
Uniknya, Idham selain bukan berasal dari Jawa juga bukan merupakan anak ulama besar terpandang, bahkan di Kalimantan Selatan sekalipun. H Muhammad Chalid, ayah Idham, hanya berprofesi sebagai penghulu di pelosok Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.
Keluasan pergaulan, kemahiran retorika serta kepiawan dalam melobi mengantarkan Idham sebagai tokoh besar pemimpin nasional baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru.
Dari bawah
Panggung politik baik dalam aras nasional maupun global banyak dipengaruhi oleh faktor keturunan atau lebih dikenal dengan istilah dinasti, tradisi fedalisme yang mewariskan kuasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi dinasti banyak ditemukan baik di Indonesia maupun luar negeri. Bahkan di negara semodern Amerika Serikat pun masih banyak ditemukan praktik dinasti.
Istilah dinasti tidak berlaku bagi Kiai Idham Chalid. Idham merupakan sosok pemimpin yang terlahir secara alami dari bawah. Ia tidak mengandalkan faktor dinasti maupun kekuatan materi, dua faktor terpenting dalam berpolitik, dalam merintis karirnya yang panjang dan cemerlang.
Idham menjadi pemimpin besar karena kapasitas personal, kegigihan dalam perjuangan serta kemauan keras untuk memberikan sumbangsih terbaik bagi bangsa dan agama.
Arif Mudatsir Mandan, tokoh PPP yang juga penulis buku "Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid" mencatat sosok Kiai Idham merupakan teladan bagi generasi muda NU dan bangsa Indonesia. Beliau adalah sosok pemimpin besar yang lahir dari bawah.
"Kiprah dan peran Idham Chalid tergolong istimewa. Ia bukanlah sosok yang berasal dari warga kota besar. Ia hanyalah putra kampung yang merintis karier dari tingkat yang paling bawah, sebagai guru agama di kampungnya. Tapi kegigihannya dalam berjuang, dan kesungguhannya untuk belajar dan menempa pribadi, telah mengantar dirinya ke puncak kepemimpinan nasional yang disegani hingga kini, ujar Arif.
Kalangan pengamat politik Indonesia, banyak mencatat bahwa Idham Chalid merupakan salah seorang dari sedikit politisi Indonesia yang mampu bertahan pada segala cuaca.
Ia pernah menjadi Ketua Partai Masyumi Amuntai, Kalimantan Selatan, dan dalam Pemilu 1955 berkampanye untuk Partai NU. Ia pernah pula menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali-Roem-Idham, dalam usia yang masih sangat belia, 34 tahun. Sejak itu Idham Chalid terus menerus berada dalam lingkaran kekuasaan.
Di organisasinya, ia dipercaya warga nahdliyyin untuk memimpin NU di tengah cuaca politik yang sulit, dengan memberinya kepercayaan menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU selama 28 tahun (1956-1984).
Di samping berada di puncak kekuasaan pimpinan NU, ia juga dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), 1956 - 1957. Saat kekuasaan Bung Karno jatuh pada 1966, Idham Chalid yang dinilai dekat dengan Bung Karno ini tetap mampu bertahan.
Presiden Soeharto memberinya kepercayaan selaku Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967 - 1970), Menteri Sosial Ad Interim (1970 - 1971) dan setelah itu Ketua MPR/DPR RI (1971 - 1977) dan Ketua DPA (1977 -1983).
Ketika partai-partai Islam berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, pada tanggal 5 Januari 1973, mantan guru agama Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo ini menjadi ketua, sekaligus Presiden PPP.
Dari sisi wawasan keilmuwan dan kemahiran, sosok Idham Chalid dikenal sebagai ulama yang mahir berbahasa Arab, Inggris, Belanda, dan Jepang. Ia juga menyandang gelar doctor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Idham Chalid merupakan khazanah yang tak ternilai bagi bangsa ini.
Mimpin NU 28 tanpa Gejolak
KH Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU 1999-2010 mengemukakan kekagumannya pada sosok Idham karena berhasil memimpin PBNU selama 28 tahun.
Selain kagum, Hasyim juga mengaku ?iri? pada Idham, karena selama 28 tahun menjadi ketua umum PBNU tanpa ada gejolak berarti.
?Sebagai ketua umum PBNU, saya termasuk orang yang mengagumi beliau, karena memimpin NU selama 28 tahun dan tidak ada gejolak dalam NU selama beliau memimpin. Ini sangat sulit. Kalau saya, memimpin NU 8 tahun saja ruwetnya bukan main,? katanya.
Dikatakannya, Kiai Idham Chalid juga telah berhasil membawa NU keluar dari masa-masa pelik, bahkan genting saat Indonesia masih berusia muda dengan dinamika politik yang luar biasa.
Pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai NU. Selanjutnya, tahun 1955 yang penuh gejolak karena demokrasi liberal berjalan selama 4 tahun dan tahun 1959 masuk dekrit presiden. Lalu tahun 1960 Bung Karno menjalankan Manipol Usdek yang berjalan 5 tahun sampai tertengahan tahun 1966.
Suasana krisis juga belum berakhir karena terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Tahun 1967-1969, posisi NU justru terjepit. Tahun 1971 pemilu yang pertama masa Soeharto dan NU sangat berat karena dihajar habis oleh Golkar.
Dijelaskannya menyelamatkan jamaah NU yang yang sedemikian banyak memerlukan kepribadian arif dan tangguh. Hasyim Muzadi menilia, "Orang yang mengerti Pak Idham menyatakan beliau orang yang istikomah dalam berbagai situasi, tetapi orang yang tidak cocok pasti mengatakan oportunis, karena dari masa ke masa selalu mendapatkan tempat."
Meskipun berbeda pandangan politik, Hasyim mengatakan Kiai Idham tetap menjalin silaturrahmi dan ukhuwah dengan Buya Hamka."Perbedaan partai ini tidak mengurangi silaturrahmi dengan yang lain sehingga Pak Idham dengan Buya Hamka. Ketidakharmonisan dalam bidang politik tidak harus membuat pemimpin tidak harmonis dalam ukhuwwah," imbuhnya.
Kiai Hasyim berharap keberhasilan KH Idham Cholid dalam memimpin NU dapat menjadi pelajaran dalam mengembangkan NU ke depan agar semakin jaya. "NU punya kemulyaan dan harus kita bangun kemuliaan baru ini menyongsong masa depan, tandasnya memberikan semangat.

Kemandirian Pangan Indonesia, Obsesi Seorang Suswono

Kamis, 22 Oktober 2009 07:27 WIB | 4552 Views

Menteri Pertanian, Suswono
Bogor (ANTARA News) - Jatah pos kementerian pertanian, tampaknya menjadi "tradisi" yang belum lepas dimandatkan kepada Institut Pertanian Bogor (IPB). Setidaknya, dalam tiga masa pemerintahan terakhir, jabatan menteri pertanian (Mentan), selalu diamanahkan kepada orang IPB.
Pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, jabatan Mentan disandang oleh Prof Bungaran Saragih, guru besar IPB. Kemudian, pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Kabinet Indonesia Bersatu I 2004-2009, jabatan itu diberikan kepada Dr Anton Apriyantono, juga pengajar di IPB.
Kini, pada masa bakti lima tahun kedua sekaligus terakhir SBY --yang kembali terpilih menjadi Presiden RI 2009-2014-- jabatan Mentan dipercayakan kepada Ir Suswono, MMA, lulusan IPB yang juga pernah mengajar di almamaternya itu, dan lima tahun terakhir menjadi anggota DPR-RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Politisi yang menjabat juga salah satu pendiri Partai Keadilan (PK) tahun 1998, dan PKS tahun 2002 itu, selama di Senayan (2005-2009) duduk sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR RI yang membidangi masalah pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, kelautan, dan pangan.
Lulus Program S1 Sosial Ekonomi Peternakan IPB (1984), pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah (Jateng) 20 April 1959 itu, melanjutkan Program S2 Magister Manajemen Agribisnis IPB (2004), dan kini sedang dalam proses menyelesaikan Program S3 Doktor Manajemen Bisnis IPB (kandidat doktor), sosok Suswono tak lepas dari masalah pertanian.
"Saya telah merumuskan konsep pemikiran sebagai visi pertanian lima tahun ke depan yaitu `Pertanian Industrial Unggul Berkelanjutan yang Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Meningkatkan Nilai Tambah, Daya Saing Ekspor dan Kesejahteraan Petani`," katanya saat menyampaikan obsesinya dalam perbincangan dengan ANTARA di kediamannya, Jalan Munggaran No. 8 Kelurahan Kedung Waringin, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat (Jabar).
Visi itu, katanya, adalah menyelaraskan harapan Presiden SBY saat memanggil dirinya di Cikeas dalam "audisi" calon menteri, di mana SBY berharap Departemen Pertanian (Deptan) mampu mewujudkan kemandirian pangan dengan meningkatkan produksi beras dan kesejahteraan petani.
Ketika dipanggil Presiden selama 15 menit, ia mengaku mendapatkan sejumlah paparan berisi harapan dan target SBY terhadap Deptan lima tahun ke depan.
Ia mencatat ada 10 butir harapan SBY yang disampaikan. "Pak SBY berharap Deptan mampu mewujudkan kemandirian pangan nasional," kata Ketua HMI Cabang Bogor (1982 - 1983) itu.
Setiap daerah mempunyai keunggulan masing-masing. Keunggulan tersebut diharapkan dapat mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Di samping itu, Deptan juga diharapkan dapat mempertahankan swasembada beras nasional. Caranya yakni dengan meningkatkan prodiksi beras.
Saat ini rata-rata produksi beras dalam negeri 5 ton per hektare. Ke depan diharapkan setiap hektare mampu menghasilkan sedikitnya 10 ton.
Suswono yang tercatat sebagai dosen Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor 1984-2004 mengutarakan, SBY juga berharap Deptan dapat memperbaiki infrastruktur pertanian, agar sektor ini dapat terus menggeliat serta menjadi pelaku utama pembangunan nasional.
Berikutnya, Deptan diharapkan mampu meningkatkan nilai tukar petani, agar kesejahteraan petani mengalami peningkatan.
Selanjutnya, Deptan diminta untuk membuat kebijakan yang melindungi petani dengan cara mewujudkan subsidi untuk pelaku usaha pertanian.
"Presiden juga berharap agar ekspor dan impor tidak merugikan petani," katanya.
Lemahnya produksi peternakan nasional juga mendapatkan perhatian khusus dari SBY. "Produksi peternakan harus digenjot," katanya.
Yudhoyono juga mengharapkan agar Deptan mampu meningkatkan kerja sama dengan negara-negara sahabat atas dasar saling menguntungkan. Harapan terakhir SBY terhadap Deptan yaitu terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik.

Melanjutkan Dan Mengevaluasi
Untuk menjawab harapan yang tinggi dan mewujudkan misi besar Presiden Yudhoyono dalam mewujudkan kemandirian pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani, Suswono melontarkan sejumlah pemikirannya bagi revitalisasi pertanian ke depan.
Pada prinsipnya ia akan melanjutkan keberhasilan program-program yang telah dilaksanakan pendahulunya, Anton Apriyantono.
Namun, selaras dengan itu, dirinya juga akan mengevaluasi berbagai kendala yang dihadapi dan program yang masih lemah implementasi untuk dilakukan perbaikan.
Dalam kaitan itu, ia menegaskan sekali lagi rumusan konsep pemikiran sebagai visi pertanian lima tahun ke depan yaitu
"Pertanian Industrial Unggul Berkelanjutan yang Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Meningkatkan Nilai Tambah, Daya Saing Ekspor dan Kesejahteraan Petani"
Melalui misi tersebut, anak pasangan H Asyraf (pensiunan PNS) dan Hj Suratni itu bertekad dapat menjadikan pertanian lebih menggeliat lagi.
"Pertanian diharapkan tidak hanya menjadi tulang punggung kehidupan bagi warga yang menggantungkan hidup secara langsung dari sektor ini saja, namun juga diharapkan menjadi salah satu sumber devisa negara," kata bapak empat anak itu.
Ia mencontohkan, bersama Malaysia, Indonesia menguasai sekitar 80 persen pasar dunia minyak sawit sehingga faktor ini diharapkan dapat meningkatkan devisa negara.
"Saya akan bekerja keras untuk mewujudkan misi tersebut," kata anggota DPR RI terpilih PKS periode 2009-2014 tersebut.
Karena itu, lanjut dia, meski berangkat dari partai politik, ia akan menanggalkan atribut partai dengan bekerja secara profesional.
Sebagai sektor penyumbang tenaga kerja terbesar dibandingkan sektor-sektor lainnya, menurut dia, pembangunan pertanian mesti dibangun sungguh-sungguh.
"Sektor pertanian menjadi penyedia bagi 41 juta pekerja yang terlibat secara langsung. Sektor ini menjadi tumpuan bagi separuh tenaga kerja secara nasional," katanya.
Bila dihitung berdasarkan kepala keluarga (KK), jumlah yang terlibat secara langsung di sektor pertanian mencapai 23 juta KK. "Dan bila setiap KK memiliki lima orang anggota, maka total sebanyak 115 juta jiwa yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian," katanya.
Tingginya populasi penduduk yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian, menjadikan sektor ini sangat strategis dalam konteks pengelolaan kebijakan negara.
Karena itu, Suswono bertekad bekerja keras untuk melindungi nasib 115 juta jiwa penduduk yang menggantungkan hidup dari sektor ini dan nasib rakyat Indonesia pada umumnya dengan menjadikan pertanian sebagai sektor primadona dan tumpuan utama pembangunan nasional.

Penggemar Sayur Asem
Dalam penilaian orang terdekatnya, Suswono dikenal sebagai sosok yang sederhana. Penggemar sayur asem itu, saat pulang kampung, selalu dibuatkan makanan kesukaannya itu.
"Kakak saya, Suswono, memang salah satu penggemar sayur asem, bila pulang ke Slawi minta dibuatkan sayur asam," kata adik kandung Suswono, Siti Arumsih, di Tegal, Selasa (20/10).
Soal makanan, kata Siti yang tinggal di RT02/RWIV, Desa Kalisapu, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal itu, Suswono bukanlah orang yang pilih-pilih. Sebagian besar makanan kesukaannya adalah makanan sederhana.
Berdasarkan cerita beberapa teman dekatnya, Suswono memang dikenal memiliki kecerdasan yang lebih baik ketimbang mereka.
Suswono pernah aktif di sejumlah organisasi seperti menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan IPB, Pengurus Pelajar Islam Indonesia (PII) Daerah Tegal, dan Ketua PII Komisariat Slawi.
Asisten pribadi Suswono dan pengelola Kantor Perwakilan Pusat Informasi dan Pengaduan (PIP) Slawi, Aji Kurnia Darmawan, mengaku, mengenal Suswono sebagai pribadi yang layak dicontoh masyarakat.
"Sosok Suswono merupakan sosok pekerja keras, disiplin, dan memberikan perhatian kepada sesama," katanya.
Ikhwal sosok pekerja keras itu, dikuatkan oleh Hj Mieke Wahyuni, sang istri.
"Sejak muda, bapak sudah terbiasa dengan kesibukan dan mobilitas tinggi. Sebagai seorang isteri saya selalu mendukung penuh langkah suami. Sebagai bentuk dukungan penuh, berbagai urusan keluarga di rumah, semua saya pegang kendali," katanya.
Menurut Mieke, sejak duduk di bangku SMA di Kabupaten Tegal, Jateng, Suswono telah aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan saat kuliah di Fakultas Peternakan IPB, suaminya itu aktif di HMI.
Saat sudah berkeluarga, hobi berorganisasi Suswono tidak lantas padam, namun semakin meningkat. Hal tersebut ditunjukkannya dengan menjadi bagian penting dari sejarah lahirnya PK dan kemudian PKS.
Mieke Wahyuni mengatakan, setiap kali sang suami mengalami promosi jabatan, ia tidak terlalu kaget. Misalnya pada tahun 2004 lalu saat suaminya terpilih sebagai anggota DPR, dan kemudian salah satu pimpinan di Komisi IV, ia dan keluarganya menyikapinya biasa-biasa saja.
Hal sama juga dilakukannya saat dipilih Presiden SBY sebagai anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II.
Ia bahkan mengingatkan suaminya agar tidak banyak berubah seandainya dipilih presiden menjadi Menteri Pertanian. "Jabatan sifatnya amanah dan sementara, karena itu harus hati-hati mengemban amanah tersebut," katanya.
Ketua DPRD Kabupaten Tegal, Rojikin A.H. mengharapkan, Suswono melaksanakan berbagai program pemerintah untuk kepentingan seluruh masyarakat dan bukan kepentingan partai.
"Kalau menjadi menteri diharapkan melaksanakan program pemerintah sepenuhnya dan bukan untuk kepentingan partai. Bidang pertanian menjadi sektor yang harus diperhatikan, termasuk di Tegal," katanya.(*)
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © 2011

Publikasi pada Kompas Online 31 Maret 2010

Tepat, Komitmen NU Kembali ke Pesantren


KH Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU yang baru terpilih di Muktamar ke-32 NU di Makassar.

 
BOGOR, KOMPAS.com — Cendekiawan muda Nahdlatul Ulama Institut Pertanian Bogor, Ahmad Fahir, MSi, menyatakan, komitmen yang disampaikan Ketua Umum PBNU yang baru terpilih, KH Said Aqil Siradj, untuk "kembali ke pesantren" dinilai tepat dan strategis.

"Banyak harapan kalangan NU untuk menjaga jarak dengan politik sehingga apabila ada keinginan kembali memberdayakan dunia pesantren, itu sebuah cita-cita yang strategis sehingga pesantren menjadi lebih berperan kuat," katanya di Bogor, Rabu (31/3/2010).

Saat maju dalam pencalonan sebagai Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj mengusung slogan "kembali ke pesantren". Dia mengusung itu karena menilai selama ini perhatian NU terkuras ke dunia politik dan harus diarahkan kembali pada basisnya di pesantren.

"Kembali ke pesantren bukan berarti kembali mondok, tapi kembali pada pola dan cara berpikir pesantren, cara hidup pesantren, cara pandang pesantren," katanya dan menambahkan bahwa di pesantren ada hikmah, kebijaksanaan, kesederhanaan, dan kemandirian.

Berkat pesantren pula NU dapat bertahan, bahkan menjadi organisasi Islam terbesar di dunia.

"Tanpa pesantren, NU hanya akan tinggal nama," katanya.

Pesantren, kata Said Aqil, berhasil menyinergikan antara agama dan budaya. Agama tidak akan kuat jika tidak ditopang oleh budaya dan untuk kembali ke pesantren, mau tidak mau NU harus mengurangi aktivitas yang terkait persoalan politik, terutama politik praktis.

"Pondok pesantren perlu didorong untuk maju dan berkembang, mengingat pesantren adalah benteng sekaligus pusat persemaian kader Muslim di Indonesia," katanya.

Gerakan kembali ke pesantren, kata dia, adalah gerakan untuk menjadikan pesantren dan santrinya sebagai entitas yang siap menghadapi persaingan dunia yang semakin global.

Menurut Ahmad Fahir, pesantren di Indonesia tidak sedikit–untuk tidak mengatakan sebagian besar–kondisinya masih memprihatinkan. "Karena itulah, para kiai dan lainnya yang diberi amanah memimpin NU saat ini, mesti membuktikan keberpihakannya kembali dengan perhatian memberdayakan pesantren," kata pendiri Keluarga Mahasiswa NU (KMNU) IPB itu.

Pimpinan Pesantren Al-Falakiyyah An-Nahdliyyah, Pagentongan, Kota Bogor, KH Asep Zulfiqor, menilai duet pimpinan baru PBNU–KH Sahal Mahfudh sebagai rois aam dan KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum, yang dipilih peserta Muktamar ke-32 NU di Makassar, 22-28 Maret 2010–diharapkan juga memiliki komitmen tinggi dalam menegakkan Khittah 1926 NU, sebagaimana hasil mufakat Muktamar 1984 di Situbondo, Jawa Timur.

"Harapan kami semua para pimpinan PBNU tidak terjebak dalam politik praktis. Politik NU adalah politik keumatan dan kebangsaan, bukan politik untuk mencari kekuasaan untuk segelintir kepentingan elite," katanya.

Menurut dia, dengan ditegakkannya Khittah 1926 PBNU ke depan diharapkan mampu meningkatkan perhatian pada nasib pesantren-pesantren yang dikelola warga NU.

"NU perlu meningkatkan perhatiannya pada pesantren karena lembaga ini merupakan cikal bakal lahirnya NU. Pesantren merupakan tulang punggung NU Ibarat roh dan jasad, NU tidak mungkin lepas dari pesantren," katanya.

Dia mengemukakan, pesantren yang mendesak diperhatikan oleh NU adalah pesantren tradisional (salafiyyah) karena keberadaan jenis pesantren ini di banyak daerah cukup memprihatinkan.