Total Tayangan Halaman

Jumat, 04 Maret 2011

Publikasi pada Kompas Online 31 Maret 2010

Tepat, Komitmen NU Kembali ke Pesantren


KH Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU yang baru terpilih di Muktamar ke-32 NU di Makassar.

 
BOGOR, KOMPAS.com — Cendekiawan muda Nahdlatul Ulama Institut Pertanian Bogor, Ahmad Fahir, MSi, menyatakan, komitmen yang disampaikan Ketua Umum PBNU yang baru terpilih, KH Said Aqil Siradj, untuk "kembali ke pesantren" dinilai tepat dan strategis.

"Banyak harapan kalangan NU untuk menjaga jarak dengan politik sehingga apabila ada keinginan kembali memberdayakan dunia pesantren, itu sebuah cita-cita yang strategis sehingga pesantren menjadi lebih berperan kuat," katanya di Bogor, Rabu (31/3/2010).

Saat maju dalam pencalonan sebagai Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj mengusung slogan "kembali ke pesantren". Dia mengusung itu karena menilai selama ini perhatian NU terkuras ke dunia politik dan harus diarahkan kembali pada basisnya di pesantren.

"Kembali ke pesantren bukan berarti kembali mondok, tapi kembali pada pola dan cara berpikir pesantren, cara hidup pesantren, cara pandang pesantren," katanya dan menambahkan bahwa di pesantren ada hikmah, kebijaksanaan, kesederhanaan, dan kemandirian.

Berkat pesantren pula NU dapat bertahan, bahkan menjadi organisasi Islam terbesar di dunia.

"Tanpa pesantren, NU hanya akan tinggal nama," katanya.

Pesantren, kata Said Aqil, berhasil menyinergikan antara agama dan budaya. Agama tidak akan kuat jika tidak ditopang oleh budaya dan untuk kembali ke pesantren, mau tidak mau NU harus mengurangi aktivitas yang terkait persoalan politik, terutama politik praktis.

"Pondok pesantren perlu didorong untuk maju dan berkembang, mengingat pesantren adalah benteng sekaligus pusat persemaian kader Muslim di Indonesia," katanya.

Gerakan kembali ke pesantren, kata dia, adalah gerakan untuk menjadikan pesantren dan santrinya sebagai entitas yang siap menghadapi persaingan dunia yang semakin global.

Menurut Ahmad Fahir, pesantren di Indonesia tidak sedikit–untuk tidak mengatakan sebagian besar–kondisinya masih memprihatinkan. "Karena itulah, para kiai dan lainnya yang diberi amanah memimpin NU saat ini, mesti membuktikan keberpihakannya kembali dengan perhatian memberdayakan pesantren," kata pendiri Keluarga Mahasiswa NU (KMNU) IPB itu.

Pimpinan Pesantren Al-Falakiyyah An-Nahdliyyah, Pagentongan, Kota Bogor, KH Asep Zulfiqor, menilai duet pimpinan baru PBNU–KH Sahal Mahfudh sebagai rois aam dan KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum, yang dipilih peserta Muktamar ke-32 NU di Makassar, 22-28 Maret 2010–diharapkan juga memiliki komitmen tinggi dalam menegakkan Khittah 1926 NU, sebagaimana hasil mufakat Muktamar 1984 di Situbondo, Jawa Timur.

"Harapan kami semua para pimpinan PBNU tidak terjebak dalam politik praktis. Politik NU adalah politik keumatan dan kebangsaan, bukan politik untuk mencari kekuasaan untuk segelintir kepentingan elite," katanya.

Menurut dia, dengan ditegakkannya Khittah 1926 PBNU ke depan diharapkan mampu meningkatkan perhatian pada nasib pesantren-pesantren yang dikelola warga NU.

"NU perlu meningkatkan perhatiannya pada pesantren karena lembaga ini merupakan cikal bakal lahirnya NU. Pesantren merupakan tulang punggung NU Ibarat roh dan jasad, NU tidak mungkin lepas dari pesantren," katanya.

Dia mengemukakan, pesantren yang mendesak diperhatikan oleh NU adalah pesantren tradisional (salafiyyah) karena keberadaan jenis pesantren ini di banyak daerah cukup memprihatinkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar